Rabu, 06 Maret 2013

World Trade Organization (WTO)



Apa itu Perdagangan Internasional?
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.
Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
 Apa itu WTO?
(World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan dunia yang dibentuk pada 15 April 1994 di Marakesh, Maroko. Terbentuknya WTO adalah kelanjutan dari Uruguay Around dimana Indonesia termasuk salah satu negara pendiri organsiasi ini. Beranggotakan 146 negara, WTO berfungsi mengatur dan mengawasi pelaksanaan lalu lintas perdagangan internasional dengan kesepakatan-kesepakatan yang bersifat mengikat terhadap negara anggotanya. Sebelumnya sekitar setengah abad yang lalu tepatnya sejak tahun 1948, telah ada forum yang disebut General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan yang memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dengan tujuan untuk menurunkan biaya dalam proses ekspor dan impor. GATT didirikan untuk mengurangi hambatan yang ada dalam perdagangan, baik hambatan bea masuk (tariff bariier) maupun hambatan lainnya (non-tarrif barrier). Putaran Perundingan ke-8 Uruguay (Uruguay Roud) yang diselenggarakan dari bulan September1986 hingga bulan April 1994 kemudian menghasilkan WTO.
Situasi yang demikian lahir oleh karena dunia telah memasuki babak baru dari tingkat tertinggi perkembangan kapitalisme, yaitu kapitalisme monopoli atau imperialisme. Setelah abad ke 20, monopoli mendominasi segi-segi ekonomi dan politik. Hal tersebut lahir dari kesuksesan beberapa gelintitir kapitalis monopoli dalam memenangkan persaingan bebas dan penumpukan modal. Dengan demikian monopoli telah menggantikan persaingan bebas dan mendominasi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Walaupun disebutkan bahwa WTO dibutuhkan untuk mengatur mekanisme perdagangan internasional secara adil menurut mekanisme pasar, tetapi ternyata WTO dijadikan alat oleh negara-negara kaya dan perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengamankan kepentingan bisnisnya, dengan membuat kesepakatan-kesepakatan yang merugikan negara-negara miskin.
WTO sebenarnya adalah dari usaha kapitalisme monopoli internasional untuk semakin memperluas ekspansi dan akumulasi modalnya dengan sasaran membuka akses dan monopoli pasar di negara-negara miskin termasuk Indonesia. Ekspansi modal merupakan cara untuk menjawab krisis ekonomi di dalam negeri mereka. Untuk mempermudah ekspansi dan akumulasi tersebut, maka hambatan-hambatan dalam proses perluasan usaha dan perdagangan haruslah dihapuskan. Hambatan tersebut adalah peranan pemerintah suatu negara yang dianggap terlalu dominan seperti kepemilikan pemerintah terhadap industri, proteksi terhadap produksi pertanian dalam negeri, pemberian insentif terhadap industri dalam negeri, subsidi untuk kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat, pelayanan sosial pemerintah terhadap rakyat, dan biaya masuk yang tinggi untuk barang impor. Intinya, semua pertimbangan-pertimbangan perlidungan dan pelayanan harus dihapus, dan digantikan dengan “keuntungan apa yang bisa didapat” dengan tidak mempedulikan nasib kaum buruh, lingkungan, perempuan, kemiskinan, pengangguran dan hak-hak rakyat di suatu negara.
Dengan mekanisme perundingan dimana posisi negara-negara kaya seperti Amerika dan Uni Eropa sangat dominan, negara – negara misikin tidaklah mempunyai posisi daya tawar dalam forum tersebut, malah menjadi bulan-bulanan dengan berbagai mekanisme perundingan yang tidak menguntungkan. Misalnya salah satu dalam prinsip perundingan WTO adalah MFN (Most-Favoured Nation) dimana suatu negara ‘dipaksa’ untuk memberi perlakuan yang istimewa terhadap negara lain yang ingin berdagang. Suatu negara harus meratifikasi kesepakatan dalam perundingan WTO dengan tanpa kecuali. Bila mereka tidak ikut dalam negosiasi atau ratifikasi, resikonya mereka diharuskan menerima hasil keputusan tanpa mempunyai hak suara atau pendapat. Indonesia sendiri mulai megikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization” , maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggotaWTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional.
Sejak berlaku di 1 Januari 1995, WTO telah melakukan beberapa kali pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang merupakan forum pengambil kebijakan tertinggi dalam WTO. KTM-WTO pertama kali diselenggarakan di Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun 1998, ketiga di Seatlle tahun 1999 dan KTM keempat di Doha, Qatar tahun 2001. Sementara itu KTM kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003. Dalam KTM terakhir di Mexico, terjadi perundingan yang sangat alot, yang kemudian akan diselesaikan pada Konferensi Tingkat Menteri yang keenam di Hongkong.

Apa tujuan WTO?
 WTO bertujuan untuk mendorong pertumbuhan arus barang dan jasa antar negara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan perdagangan, tarif dan non-tarif (subsidi, bantuan ekspor, aturan-aturan yang menghambat ekspor negara lain, dll). Selain itu, WTO juga memfasilitasi perundingan antar anggotanya dengan menyediakan forum-forum perundingan yang permanen, membantu penyelesaian sengketa di antara anggota dan mengawasi pelaksanaan aturan-aturannya di masing-masing negara anggota.    
 Apa yang diatur dalam WTO?
Berbeda dengan pendahulunya (GATT), WTO tidak hanya menetapkan standar minimal perdagangan barang namun meluas ke sektor pertanian, jasa dan hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).  WTO juga mengikat secara hukum, memiliki badan penyelesaian sengketa yang terintegrasi dan dapat menerapkan sanksi silang.  Secara sederhana, WTO mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Dari perdagangan produk alas kaki, tekstil, beras, buah-buahan, sandal dan sepatu, baja, barang dan jasa lingkungan, program televisi, jasa rumah sakit, penyediaan air bersih, sampai penyusunan undang-undang kekayaan intelektual, seperti pengaturan hak cipta, merek dagang, paten, rahasia dagang, program komputer dan lain-lain.  

Apa Prinsip Dasar WTO?
Ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar WTO, yaitu perlakuan non-diskriminasi antar negara (most favourednations), dimana negara-negara anggota dilarang memberikan perlakuan berbeda kepada sesama negara anggota WTO; prinsip non-diskriminasi di tingkat nasional (national treatment), yaitu negara anggota dilarang memberikan perlakuan berbeda antara warga lokal dengan warga asing; prinsip transparansi, dimana negara-negara anggota harus selalu mengumumkan perubahan-perubahan kebijakan atau aturan berkaitan dengan seluruh perjanjian WTO kepada seluruh anggota.  

Bagaimana Struktur dan Kewenangan WTO?
Sebagai organisasi pemerintah, WTO dikelola oleh pemerintah negara anggotanya dan keputusan WTO adalah keputusan anggotanya. Kewenangan tertinggi dalam WTO adalah konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Kewenangan tingkat kedua adalah pada General Council, ketiga pada Dewan-Dewan dan seterusnya .


Apa peran WTO dalam Sektor Pertanian?
Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/ AoA) yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995 bertujuan untuk  melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif.
Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment – S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut.
Dalam Persetujuan Bidang Pertanian dengan mengacu pada sistem klasifikasi HS (harmonized system of product classification), produk-produk pertanian didefinisikan sebagai komoditi dasar pertanian (seperti beras, gandum, dll.) dan produk-produk olahannya (seperti roti, mentega, dll.) Sedangkan, ikan dan produk hasil hutan serta seluruh produk olahannya tidak tercakup dalam definisi produk pertanian tersebut.
Persetujuan Bidang Pertanian menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan tindakan-tindakan perdagangan di bidang pertanian, terutama yang menyangkut akses pasar, subsidi domestik dan subsidi ekspor. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, para anggota WTO berkomitmen untuk meningkatkan akses pasar dan mengurangi subsidi-subsidi yang mendistorsi perdagangan melalui skedul komitmen masing-masing negara. Komitmen tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari GATT.
            Sejak disepakati perjanjian perdagangan sektor multilateral di sektor pertanian yakni Agreement on Agriculture (AoA) pada tahun 1994, telah terjadi penyesuaian kebijakan nasional masing-masing negara WTO. Di dalam AoA dimuat kesepakatan negara anggota untuk melaksanakan : 1) perluasan akses pasar produk untuk pertanian melalui, pengurangan tarif, dan ratifikasi non tarif, 2) pengurangan subsidi ekspor, dan 3) penurunan subsidi domestik (domestic support). Kesepakatan ketiga ini yang sangat sering diperdebatkan dalam forum-forum WTO, dimana negara-negara maju menginginkan negara berkembang untuk mengurangi atau bahkan mencabut subsidinya, sehingga akan memperlemah petani negara tersebut dan merusak sektor pertanian mereka sehingga secara perlahan produk-produk negara maju akan memasuki negara kecil, seperti yang terjadi di Indonesia.
Agreement on Agriculture atau persetujuan WTO dibidang pertanian berlaku sejak tanggal 1 januari 1995 bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan dibidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang andil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen untuk mengurangi susbsidi domestic, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin
yang kuat

A. Akses Pasar
Dilihat dari sisi akses pasar, Putaran Uruguay telah menghasilkan perubahan sistemik yang sangat signifikan: perubahan dari situasi dimana sebelumnya ketentuan-ketentuan non-tarif yang menghambat arus perdagangan produk pertanian menjadi suatu rezim proteksi pasar berdasarkan pengikatan tarif beserta komitmen-komitmen pengurangan subsidinya. Aspek utama dari perubahan yang fundamental ini adalah stimulasi terhadap investasi, produksi dan perdagangan produk pertanian melalui: (i) akses pasar produk pertanian yang transparan, prediktabel dan kompetitif, (ii) peningkatan hubungan antara pasar produk pertanian nasional dengan pasar internasional, dan (iii) penekanan pada mekanisme pasar yang mengarahkan penggunaan yang paling produktif terhadap sumber daya yang terbatas, baik di sektor pertanian maupun perekonomian secara luas.
Umumnya tarif merupakan satu-satunya  bentuk proteksi produk pertanian sebelum   Putaran Uruguay. Pada Putaran Uruguay, yang disepakati adalah ”diikatnya” tarif pada tingkat maksimum. Namun bagi sejumlah produk tertentu, pembatasan akses pasar juga melibatkan hambatan-hambatan non-tarif. Putaran Uruguay bertujuan untuk menghapuskan hambatan-hambatan tersebut. Untuk itu disepakati suatu paket ”tarifikasi” yang diantaranya mengganti kebijakan-kebijakan non-tarif produk pertanian menjadi kebijakan tarif yang memberikan tingkat proteksi yang sama.
Negara anggota dari kelompok negara maju sepakat untuk mengurangi tarif mereka sebesar rata-rata 36% pada seluruh produk pertanian, dengan pengurangan minimum 15% untuk setiap produk, dalam periode enam tahun sejak tahun 1995. Bagi negara berkembang, pengurangannya adalah 24% dan minimum 10% untuk setiap produk. Negara terbelakang diminta untuk mengikat seluruh tarif pertaniannya namun tidak diharuskan untuk melakukan pengurangan tarif. 

Daftar Pustaka :
Modul Perkuliahan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar